WELCOME GUYS,


*) Selamat Datang di blogku, Suatu blog interaktif yang komunikatif, dan anak muda banget lochh. Disini Kamu bisa Sharing tentang topik yang akan dibahas pada forum ini. Tentunya dengan harapan kita bisa mengeratkan persahabatan. Karena yang namanya sahabat, tidak kenal jarak, wujud, usia, sifat, status, fisik, dan lain-lain. (*

PERTANYAAN :

*) Seberapa penting kah menurut Anda tentang Adanya Resepsi Pernikahan,??? (*
Next...>>>>

JINGGA meng-ANGGUN di SENJA

Tttiiittt….!!!!!!

“Ngga, ikut gue yuk!!”

“Nggak ah nggun, gue males. Emang loe mau kemana sich??”

“Biasa, gue ama Dion mau makan siang sekalian hunting fashion yang lagi in. Loe kan demen tuch.”

“Loe sama Dion aja dech. Gue mau pulang aja. Gue janjian sama sepupu gue ntar sore mau berenang. Sorry ya, have fun. Daaagghh…. “

“Ngga, Jingga, tunggu..!!!”

“Yach.. Tu anak kenapa sich, akhir-akhir ini susah banget diajak jalan. Ya udah dech yank, kita pergi berdua aja. ”

***

Lagi-lagi Jingga nolak ajakan Anggun, sahabatnya sejak kecil, tepatnya dari semasa SD. Padahal dulu mereka nggak pernah absen pergi ke Mall, ada-ada aja yang mereka lakukan. Dari shopping, makan di kafe, atau sekedar cuci mata. Tapi semenjak Anggun jadian sama Dion, ketua Osis disekolah mereka sekaligus tetangga Jingga, Jingga suka nolak ajakan Anggun. Kalau alasannya jadi baygon Lavender, kayaknya nggak dech, soalnya Anggun nggak pernah cuekin Jingga kalau lagi jalan sama Dion. Sepertinya Jingga cemburu.

“Ugh, sepi. Mau ngapain ya gue dirumah, biasanya jam begini gue lagi hunting baju-baju keren. Coba tadi gue ikut Anggun, nggak BeTe kan sekarang. Tapi nggak dech, ada Dion. Mm, mereka lagi ngapain ya sekarang?.” Gumam Jingga sambil menuju meja rias, tempatnya bereksperimen dengan wajah imutnya.

Jingga emang cantik, bahkan lebih cantik dari Anggun, wajahnya nggak bosan dilihat, tubuhnya profesional, secara Jingga seorang model, baik lagi. Cowok mana yang nggak takluk sama Jingga.

“Seandainya gue seberuntung Anggun dapetin Dion. Udah cakep, keren, terkenal pula. Siapa sich yang nolak kalau ditembak Dion. Apa gue kurang cantik dibanding Anggun, atau gue nggak sejenius Anggun.” Lanjut jingga secara memutar geraian rambut indahnya.

Walaupun Jingga cantik, perfect dimata cowok-cowok, tapi dia belum punya pacar. Jingga hanya mencintai Dion, pacar sahabatnya. Sebenarnya Jingga lebih dulu tertarik dengan Dion, sejak SMP. Tapi Dion nggak pernah merespon Jingga. Secara, ya kalau dibilang perfect, oke lach. Tapi urusan cinta, Jingga paling jaim untuk agresif duluan. Jingga hanya bisa menatap dan curi-curi pandang Dion lewat jendela. Pernah sekali Dion ngajak nebeng kesekolah dengan motor modif kesayanganya, tapi Jingga menolaknya, karena ia sudah dijemput Vera, teman SMP-nya dulu. Waktu itu, Anggun lanjutin SMP di Australia. Namun SMA ini Anggun barengan lagi dengan Jingga. Jingga dan Anggun sama-sama aktif, namun Anggun lebih cenderung pada kegiatan yang berhubungan dengan olahraga, terutama bulutangkis. Dion juga memiliki kegemaran yang sama. Mereka sering bertemu di arena bulutangkis saat mereka latihan. Itu yang membuat Dion mendekati Anggun daripada Jingga, secara mereka sering barengan. Padahal Dion orangnya lumayan dingin dengan yang namanya cewek, tapi Anggun bisa menaklukkan hatinya.

***

“Ngga, Jingga..!!!” sapa Anggun ngos-ngosan ngejar Jingga di halaman sekolah.

“Loe cepet banget sich jalannya, kelaperan loe!” lanjut Anggun dengan senyumnya yang sedikit menggurau.

“Nggak kok, gue takut ntar bel bunyi, rada haus nich.” Jawab Jingga.

“Yee, sama bel aja takut, emang dia pernah mukulin loe?” Gurau Anggun.

“Belnya nggak pernah mukulin gue, tapi gara-gara bel gue sering dihukum pak Mahmud karena telat masuk.” Timpal gadis imut itu.

“Eh, loe nggak sama Dion? Gue kira loe barengan sama Dion.” Lanjut Jingga.

“Tadi sich barengan, karena gue ngejar loe, kayaknya sekarang doi ilang tuch, tapi biar lah, gue pengen ngerumpi bareng loe. Abisnya belakangan kita jarang bareng, gue kan kangen sama loe.” Jelas Anggun seraya nyipratin juice orange ke arah Jingga sambil ketawa.

“Ach, rese’ loe nggun..”

Bel tanda pulang sudah dari tadi, tapi Jingga belum juga kelihatan keluar dari pagar.

“Nggun, ngapain kamu disitu?” tanya Dion dari dalam mobil.

“Aku lagi nunggu Jingga Yon, kemana ya dia, dari tadi belum keliatan.” Jawab Anggun sambil celingukan mencari Jingga.

“Loch, masa’ kamu temennnya nggak tau sich, dia kan sudah permisi pulang dari jam ke-lima. Tadi waktu aku ngambil absen di majelis guru, aku lihat dia izin sama pak Mahmud. Katanya sich sakit gitu.” Jelas Dion.

“Ha’?? Sakit?? Emangnya dia sakit apa, biasanya kalau sakit dia bilang sama aku. ” Heran Anggun.

“”Sudah, ayo naik dulu. Kalau kamu mau sekarang kita kerumah Jingga, lihat keadaan dia. “ ajak Dion tulus.

“ Ya dech aku mau.”

“Bi, Jingga ada?” tegur anggun ramah pada pembantu Jingga.

“Ada non, dikamar. Bibi panggilin dulu ya? ” sahut bibi.

“Tunggu dulu bi, emangnya Jingga sakit ya? Tadi dia permisi pulang cepet gitu. Jingga sakit apa bi?” tanya Anggun ingin tahu.

“Ach, nggak kok non, nggak sakit apa-apa. Bibi panggilkan dulu ya non.” Jawab bibi terbata-bata sambil berlalu memanggil Jingga.

“Hai Nggun, Dion. Tumben pulang sekolah langsung kesini. Nggak absen dulu di Mall?” sapa Jingga sedikit menggoda.

“Loe tu ya, permisi pulang nggak bilang-bilang.” Jawab anggun.

“Kan udah permisi sama pak Mahmud.” Balas Jingga berlagak telmi.

“Maksud gue, bilang sama gue.” Gerutu Anggun denga manisnya.

“Emangnya loe sakit apa Ngga?” tanya Dion yang dari tadi diam saja.

“Nggak sakit apa-apa kok, biasa sakit cewek.” Jawabnya sedikit mencari alasan.

“Non, Den, diminum airnya.” Kata bibi memecah gurauan.

“Ma kasih bi.” Sahut mereka.

Hari ini nggak biasanya Jingga datang telat. Wajahnya yang manis terlihat pucat saat itu. Ntah ia sakit atau takut kena hukum pak Mahmud. Sepertinya dua-duanya.

“Eh, loe tadi telat ya?” tanya Anggun dikantin waktu istirahat.

“Iya, gue telat bangun.” Jawab Jingga polos.

“Telat bangun, hahaha. Begadang loe semalam? Sakit-sakit begadang.Gimana sakit loe? Udah mendingan?” lanjutnya perhatian.

“Udah kok.”

“Eh, wajah loe kok pucat gini. Make up loe abis ya?” tanya Anggun seraya menampilkan senyumnya yang genit.

“Enak aja loe, justru ini make up. Biar gue nggak dihukum pak Mahmud karena wajah gue pucat, kan sakit tu.” Tawa Jingga.

“Dasar loe, kelewat jenius.”

***

Sudah tiga hari Jingga nggak masuk sekolah. Alasannya sich sakit karena kecapean setelah ngisi acara Fashion Show di pembukaan restoran baru dibogor.

“Yon, Jingga kok akhir-akhir ini sering sakit ya? Jarang keliatan batang hidungnya di kegiatan sekolah. Aku khawatir sama dia.” Heran Anggun.

“Ya mungkin lagi masanya dia sakit aja kali. Kamu nggak usah melankolis gitu.” Timpal Dion menenangkan Anggun.

“Kamu tu ya, aku tau banget gimana dia. Aneh kalau dia tiba-tiba kayak gini.” Gerutu Anggun.

“Eh, rembulanku satu ini kok jadi manyun gini sich, jelek tau.” Goda Dion menggelitik Anggun, dibalas dengan gelitikan kocak Anggun.

Keesokan harinya Jingga juga nggak masuk sekolah, tapi…………..

“Non, dibawah ada den Dion.” Panggil bibi dibalik pintu.

“Ha’? Dion bi? Dengan Anggun?” heran Jingga seraya membukakan pintu kamarnya.

“Sendirian non.” Jawab bibi.

Sekejap Jingga sudah ada didepan Dion, Senyum terpancar diwajah manisnya yang saat itu pucat.

“Hai Ngga,” sapa Dion duluan karena meliat Jingga masih menebarkan senyuman.

“Eh, Hai yon. Kok nggak sama Anggun?” Basa basi Jingga.

“Tadi dia mau latihan Bulutangkis gitu.”

“Kok loe nggak ikutan? Biasanya ada semut ada gula, alias ada Anggun ada loe.” Centil Jingga sambil ketawa diikuti Dion.

“Gue mau jenguk loe, Anggun khawatir tu sama loe. Tiga hari dia nanyakin loe mulu. Berhubung rumah gue didepan, sekalian kan gue mampir. Lagian tetangga sakit masa’ iya gue nggak jenguk.” Jawab Dion.

“O, jadi itu yang membuat loe kesini?” gumam Jingga pelan hampir tak terdengar sambil memalingkan muka.

“Ha’? Apa Ngga??” tanya Dion.

“Ach, nggak. Nggak apa-apa.” Balasnya gugup.

“Emangnya loe sakit apa ngga?” lanjut Dion perhatian.

“Nggak sakit apa-apa kok Yon, gue kecapean aja setelah ngisi acara dibogor kemaren. Loe mau minum apa Yon?” jawab Jingga mengalihkan pembicaraan.

“Yang dingin aja ngga.” Pinta Dion diikuti anggukan Jingga.

Menunggu Jingga ambil minuman, Dion melihat-lihat pernak-pernik hiasan unik di ruang tengah rumah Jingga. Dan disamping photo manis Jingga, ia melihat sebotol obat yang dikira Dion namanya aneh, secara bokap Dion dokter ahli penyakit jantung. Tapi botol itu sudah kosong. Dion mengambil botol itu dan memasukkannya ke dalam tasnya. Jingga kembali membawa Juice Mangga kesukaan Dion yang diketahuinya dari Anggun, dan mereka terlibat pembicaraan asyik.

“Pa, papa! Papa!” panggil Dion malam itu seusai makan malam.

“Ada apa Yon?” tanya papanya, sambil mengambil koran yang belum dibacanya.

“Ini obat apa ya pa?” lanjut Dion serius.

“Kamu dapat dari mana?? Punya siapa ini Yon??” tambah papanya.

“Mm, itu punya Jingga pa!”

Papa Dion tersentak, terdiam seraya membuka kacamatanya dan berjalan kearah jendela, matanya tertuju rumah Jingga diseberang yang hanya berpenghuni Jingga dan pembantunya.

“Udah tiga hari Jingga nggak masuk sekolah pa. Tadi Dion menjenguk kerumahnya. Dion melihat botol itu disamping photo Jingga, berhubung botol itu kosong, Dion bawa pulang aja, trus tanya sama papa. Sepertinya ada yang Jingga sembunyiin tentang penyakitnya dech pa!” Dion menerangkan bagaimana ia mendapatkan obat itu.

Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya papanya mulai bercerita.

“Jingga memang sakit Yon, kangker jantung stadium akhir. Dia pasien papa yang paling bersemangat untuk hidup. Dia juga melarang papa untuk cerita kesiapapun, sekalipun orangtuanya, termasuk kamu. Yang mengetahui penyakitnya hanya pembantunya. Dia hanya bisa sembuh jika ada pendonor jantung yang cocok untuknya.” Jelas papanya.

Kali ini justru Dion yang tersentak, ia terdiam tak menyangka.

***

“Dulu Jingga yang berubah, sekarang Dion ikutan melankolis gitu. Ada apaan ya?” Gumam Anggun terheran ketika melihat Dion nggak biasanya duduk sendirian dibawah pohon Akasia ditaman sekolahnya sambil termenung. Anggun berniat meghampirinya, tapi diurungkan niat tersebut.

Semenjak Dion mengetahui penyakit Jingga, Dion ikutan berubah. Lebih pendiam, jarang ada di kegiatan yang biasa digelutinya. Tapi ia justru sering jalan, bahkan main kerumah Jingga.

Malam itu, Dion termenung dikamarnya, ia menyesali salah jalan yang dilaluinya. Sebenarnya dari dulu yang dicintainya Jingga, bukan Anggun. Awalnya Dion mendekati Anggun hanya untuk mendapat info tentang Jingga. Tapi temen-temen Dion malah menyodorkan Dion jadian dengan Anggun. Untuk mendapat info lebih lengkap tentang Jingga, akhirnya Dion nembak Anggun. Secara, Anggun menerimanya. Sekarang ia nggak bisa menyakiti Anggun yang udah terlalu baik dengannya, ia juga nggak mau melihat Jingga menahan sakit sendirian, ia ingin membahagiakan Jingga disaat terakhirnya. Kalau bisa tidak hanya disaat terakhirnya, tapi untuk selamanya.

***

“Loe Anggun kan? Gue duduk sini ya?”

“Iya kak, duduk aja. Kakak yang sahabat dekatnya Dion kan?” Anggun memulai pembicaraan.

“Iya, Gue Dika.” Memperkenalkan diri.

“Loe udah lama ya dengan Dion?”

“Baru setahun satu bulan kak, emangnya kenapa?”

“Loe cantik, baik. Sayang Dion kalau melepaskan loe.” Gumam Dika.

“Jadi kakak mau ngerayu aku ni? Eh, by the way maksud kak Dika Dion melepaskan aku apa?” tanya Anggun penasaran.

“Setau gue lo temen deketnya Jingga, masa’ loe belum tau apa yang terjadi? Gue kira loe udah tau!”

“Nggak kak, aku belum tau sama sekali. Jingga? Ada apa dengan Jingga kak? Trus, apa hubungannya dengan Dion?”

“Jadi gini, Jingga sakit. Kangker jantung stadium akhir, secara itu yang membuat Jingga jarang masuk sekolah. Dion tau dari papanya. Sebenarnya Dion mencintai Jingga, dia mendekati loe untuk dapat info tentang Jingga. Tapi kami support dia jadian sama loe. Sekarang, Dion nggak mau menyia-nyiakan hidupnya tanpa pernah membahagiakan orang yang dia cintai, yang hidupnya nggak lama lagi. Tapi dia juga nggak mau nyakitin loe, secara loe cewex yang baik. Jingga dari dulu mencintai Dion, begitu dia tau loe suka sama Dion, dia merelakan Dion buat loe. Gue kasi tau ini ke loe, nggak bermaksud apa-apa, tapi gue nggak tega loe selalu ditinggalin Dion kayak gini. Gue tau loe bisa amil keputusan yang bijaksana.” Terang Dika serius.

Anggun terdiam, tak satupun kata yang bisa diucapkannya. Hatinya sangat kecewa. Dika melihat ada air yang mengalir dipipi merahnya Anggun. Dika ingin menghapusnya, tapi ia memilih pergi.

Dion dekat dengan Jingga, pergi dan pulang sekolah bareng. Anggun melihatnya. Tapi Anggun juga nggak bisa berbuat apa-apa. Anggun juga ingin melihat orang-orang yang disayanginya bahagia. Apalagi Jingga, sahabatnya dari kecil. Selama ini dia telah merebut kebahagiaan Jingga. Dia juga nggak tau Jingga punya penyakit serius yang dideritanya sendiri, karena dia nggak mau melihat Anggun sedih.

***

“Loe dah denger kabar baru belum?” sapa Dika di kantin.

“Kabar apa kak?” jawab Anggun penasaran.

“Loe sahabatnya tapi nggak tau? Jingga kan masuk rumah sakit Harapan Kita, gue denger dari Dion, kangkernya kumat, dan ini lebih parah, Jingga harus dirawat intensif di rumah sakit.” Jelas Dika.

Tanpa komentar Anggun langsung menelpon Dion, tapi nggak ada jawaban. Jingga permisi pulang awal, ia menuju rumah sakit dimana Jingga dirawat. Tepat dibelokan pertama setelah gang ia bertemu Dion yang sedang menunggu Jingga di ICU. Dion memeluk Anggun begitu eratnya.

“Jangan tinggalin gue Ngga, gue sayang banget sama loe! Please, jangan tinggalin gue, gue pengen hidup bareng loe.” Spontan kata-kata itu terucap saat ia memeluk Anggun.

Betapa perihnya hati Anggun mendengar itu. Terlebih ia nggak tega melihat Dion yang terkenal cool, jadi serapuh itu. Ditambah sahabat dekatnya ditangani di ICU. Renyuhnya hati Anggun. Ia melepaskan pelukan Dion, dan ia berlalu pergi tanpa sempat melihat keadaan Jingga.

“Dikolam ini, saksi persahabatan gue dengan Jingga, dulu kami sering main kesini, tapi sekarang gue nggak tau apa kami masih bisa bareng. Kolam persahabatan, demi gue sembuhkan Jingga. Kalau emang gue harus mengorbankan hidup gue, gue rela asal Jingga bahagia. Gue sayang Dion, tapi gue jauh menyayangi Jingga. Dia yang menemani gue saat keluarga gue pecah. Dia selalu ada buat gue. Tapi gue merenggut kebahagiaan Jingga. Gue nggak sanggup melihat Jingga terbaring tak berdaya setelah apa yang udah dia lakukan buat gue.” Gumamnya dengan deraian air mata. Tubuhnya tersandar dibalik batu besar bertulisakan JINGGA MENGANGGUN DISENJA, tulisan tangan kecilnya dulu dengan Jingga.

***

“Eh, Nggun, ngapain kamu diruangan papaku? Kamu nggak kenapa-napa kan?” tanya Dion serius ketika melihat Anggun keluar dari ruangan papanya.

“Aku nggak kenapa-napa kok Yon. Oya, gimana Jingga? Masih koma?”

“Masih. Aku nggak tau mesti ngapain lagi.” Jawab Dion sedih.

“Nggun, maafin aku. Selama ini aku udah nggak perduli sama kamu. Maafin aku!” tambahnya memegang tulus tangan Anggun.

“Aku ngerti kok, aku sangat bahagia melihat kamu dan Jingga barengan. Sekalian aku mau pamit sama kamu, aku pindah ke Australia bersama orangtuaku, sekolahku sudah di urus sama mereka.” Paparnya sambil berlalu.

“Nggun, tunggu!!” pekik Dion mengejar Anggun yang langsung menghilang.

***

Masa kritis Jingga telah usai, ia sembuh total setelah menjalani operasi seminggu yang lalu, ada pendonor buatnya. Tapi pihak rumah sakit enggan memberitahukan siapa pendonor tersebut. Termasuk papa Dion. Padahal Jingga ingin berterima kasih pada keluarga pendonor itu.

“Mama, papa!! Ini kejutan sekali.” Sapa Jingga setelah sampai dirumahnya ada orangtuanya yang mempunyai cabang bisnis di Tibet, sudah dua tahun mereka nggak pulang, karena sibuk.

“Mana bisa mama dan papa tenang disana begitu tau kamu kritis, sayang.” Sahut mamanya seraya membelai rambut Jingga.

“Tante, ntar malam kalau tante nggak ada acara papa mengundang tante sekeluarga makan malam direstoran mama yang baru buka,?” tanya Dion mengharap.

“Tentu Yon, Om pasti datang, siapa sich yang nggak mau makan-makan.” Tawa tergelak disuasana waktu itu.

***

“Yon, sejak aku masuk Rumah sakit, aku nggak ngeliat Anggun. Dia marah ya sama aku karena loe dominan ke aku? Aku ngerasa bersalah banget sama Anggun, dia sahabat terbaik aku Yon. Aku sayang sama dia. Aku nggak berniat mengkhianati Anggun.” Tanya Jingga sedih.

“Anggun selalu nemenin kamu di Rumah sakit. Disaat kamu koma. Dia nggak marah kok sama kamu. Justru dia sempet bilang ke aku sebelum dia pamit ke Ausralia, kalau dia bahagia banget ngeliat aku sama kamu barengan.” Jelas Dion sambil membelai indah geraian rambut Jingga.

“Apa??? Ke Australia?? Kok dia nggak bilang sama aku?”

“Waktu itu kamu masih koma, sayang. Dia titip salam buat kamu, katanya “JINGGA MENGANGGUN DISENJA”. Maksudnya apaan ya?”

“Astaga, Yon, kamu mau nggak antarin aku kesuatu tempat sekarang. Tempat itu begitu berarti buat aku.”

“Aku pasti antarin kemanapun kamu mau.”

“Eh Yon, itukan Dika. Ngapain dia disana? Itukan kuburan. Biasanya dia ditempat keramaian godain cewek-cewek. Tapi mana ada cewek disini.”

“Iya ya, samperin dulu yuk..?” ajak Dion penasaran.

Terkejut!!!!! Serasa tulang ditubuh Jingga remuk, tatkala melihat nama pada nisan didepannya, ANGGUN ADELWIST. Air mata Jingga tak tahan lagi keluar dengan derasnya. Dipeluknya nisan dengan eratnya. Sungguh ia tak menyangka dan tak mengerti ada apa dibalik semua ini. Sesaat terlintas masa-masa kecilnya dengan Anggun, senang dan sedih dirasakan bareng. Sekarang ia harus melihat nama sahabatnya dinisan itu. Benar-benar pemandangan yang tak ingin ia lihat dalam hidupnya. Ia sangat shock. Ternyata sahabat kecilnya yang dia kira di Australia, ada dimakam didepannya. Dionpun tak dapat berkata-kata. Diiringi tepukan Dika, Dion rebah.

“Kalau loe mau tau yang sebenarnya, tanya bokap loe!!” Dika memberi usul kemudian berlalu.

***

“Om, Jingga mohon, beri tau Jingga apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa ada makam bernisankan ANGGUN ADELWIST?” tanya Jingga penuh harap.

“ “Keluarga saya berantakan om, selama ini saya bertahan karena Jingga. Dia menyemangati hidup saya. Jika ia meninggal, sayapun nggak tau gimana melanjutkan hidup saya. Jingga benar-benar seperti Awan Jingga menganggun di Senja. Daripada ia yang tiada, lebih baik saya yang….”

“Anggun, kamu juga berhak untuk hidup!”

“Jingga lebih berhak om, dia punya segalanya, sedangkan saya, keluargapun saya nggak punya. Saya mohon, hingga jantung ini berpindah di tubuh Jingga, jangan bilang pada siapapun tentang saya. Biar mereka kelak yang akan tau sendiri. Saya percaya dengan Om” ” kenang papa Dion, menceritakan pertemuan terakhirnya dengan Anggun.

“Maafkan Om Jingga, ini permintaan terakhir Anggun sebelum ia mendonorkan jantungnya untuk kamu. Bagi Anggun kamu adalah Jingga yang menganggun disenja. Tapi persahabatan kalian jauh lebih indah. Bahkan keindahannya menakjubkan setiap orang yang melihatnya. Saling mengisi, membagi, dan memberi. Anggun tidak meninggalkanmu tanpa pamit Jingga ” Lanjutnya.

Jingga berlari menuju Kolam Persahabatannya. Ia tau Anggun pasti pamit untuknya. Ia mencari pesan yang ditinggalkan Anggun. Ia yakin, pesan itu ada dikolam ini. Ada!!! Ada kertas didalam botol yang digantung pada pohon tak jauh dari kolam tersebut. Jingga membacanya dengan simbahan airmata kehilangan, surat yang berisi,

Hai…

Gue tau Loe jenius untuk bisa menemukan pesan gue. Walaupun gue tau, waktu Loe nemuin surat ini, gue udah nggak ada, tapi Ngga, gue tetep mau pamit. Gue pergi, tapi ada dech mau kemana. Mau tau nggak?? Mau tauuu aja!!

Loe baik Ngga, Loe sahabat gue yang terbaik. Gue bangga pernah kenal Loe.

Loe jaga diri baik-baik ya.. Jagain Dion buat Gue, Oke. Gue bahagia melihat kalian bereng.

Ingat pesan Gue,

Tetep jadi Jingga yang Menganggun di Senja!!

Karena keindahannya selalu membuat sluruh dunia bangga karena melihatmu.

Kenyataan hidup adalah hidup itu sendiri, yang tidak berawal dari kandungan dan berahir di pekuburan. Karena masa lalu tidak lain hanyalah sekejap waktu dalam kehidupan yang abadi. Sedangkan dunia dan segala isinya hanya sebuah mimpi, sama halnya dengan proses terjaga yang kita sebut terror kematian.

Kenalilah keagungan sejati dirimu sendiri, maka kau tak kan pernah mati.

Sahabatmu,

Anggun
Next...>>>>

MENULIS JUGA ADA SENINYA

Bagi sebagian orang, menulis itu emang pekerjaan yang paling sulit dilakukan, termasuk saya yang juga merasakan betapa sulitnya menuangkan apa yang ada dikepala, merangkai kata demi kata, baik itu khayalan maupun fakta, untuk menjadi sebuah tulisan yang indah dan dimengerti orang banyak.
Pengalamanku dari kecil sejak dibangku SD, memang gemes kalo yang namanya menulis, atau mengarang bebas kata guruku.
"Kuncinya, tuangkan saja apa yang ada dibenakmu, tentang bagaimana rangkaian katanya, jangan dipikirkan, yang penting kita sebagai pembuat harus paham tujuan ataupun akhir dari apa yang akan kita tulis", begitulah kira-kira kata Guruku.
Namun, atas dasar pesimis akan yang dinamakan Bakat membuat kita cenderung mundur sebelum berperang. Padahal, jika kita berani untuk memulainya tanpa takut tulisan kita amburadul, kata orang berbelit-belit, atau bahkan jangan takut untuk diketawakan orang. Nah, jika penilaian-penilaian tentang tulisan kita sungguh terjadi yang seperti disebutkan diatas, jangan berkecil hati. Anggap saja mereka hanya sekedar Guyon, sekaligus memotivasi diri kita untuk berbenah.
Makanya, kita harus bisa positive thinking terhadap apa yang terjadi disekeliling kita.
Mulanya saya juga menemukan keruwetan ketika akan merangkai kata, apalagi ketika mendapatkan soal ujian yang bunyinya ”Jelaskan, bla bla bla”. Wah, mood serta merta hilang dech. Membayangkan apa yang bakal saya tulis dikertas jawaban, mengkhayal nilai dibawah standart yang akan jadi pelingkar pulpen merah pada lembar kertas jawaban saya. Al hasil, nyontek dech (Ups, jangan ditiru, itu dulu).
Dibangku SMA saya baru menyadari semuanya, bahwa setiap manusia mempunyai semua bakat yang ada. Hanya, tergantung pada personal kepribadian yang lebih ditonjolkan.
Terlebih ketika salah satu sahabatku, telah membuktikan semua itu. Misalnya, disaat teman yang lain merasa putus asa dalam mengerjakan tugas mengarang, ia tetap dengan gigih mendalami ilmunya pada apa yang tidak bisa ia kerjakan. Dengan enteng-nya ia menyebutkan ”Penasaran”.
Sesuatu yang berlandaskan dasar penasaran, akan semakin termotivasi untuk mencapainya. ”Orang lain saja bisa, masa’ kita belum apa-apa saja sudah nyerah.” Ujarnya.
Dari motivasi dirinyalah, saya menyemangati diri saya sendiri, dengan sedikit mengutip kata-kata yang ia ucapkan namun didaur ulang, ”Dia saja bisa, saya harus lebih bisa dari dia”.
Hingga sekarang, apapun yang dilakukan, itu saja yang dipikirkan, ingin menjadi yang lebih baik dari yang baik. Daya upaya yang dilakukan, dengan banyak membaca buku, artikel, majalah, atau bahkan crayon sinchan dan lain-lain.
Tulisan ini bukan tips, hanya sebatas pengalaman diri yang ingin dipublikasikan. Dari pengalamanku, antara lain :
• Memulai menulis tentunya dengan senyum
• Pastikan tujuan atau Ending dari tulisanmu.
• Tuangkan saja topik apa yang menjadi uneg-uneg-mu (sejenis Curhat).
• Terkadang titik sulit yang didapat ketika hendak memulai awal kata pada coretan pena atau yang zaman sekarang lebih dikenal coretan petikan keyboard, jangan khawatir. Mulailah pada intinya dulu. Jika sudah tertuang, otomatis akan menginspirasi awalan kata pada kalimat pertama.
• Biasakan untuk banyak membaca referensi-referensi yang ada. Manfaatkan Internetmu! Disana sudah menjadi gudang ilmu terbesar Dunia.
• Beranikan diri mengajak Ayah, ibu, kakak, adik, atau orang-orang terdekat untuk membaca dan mengkritik tulisanmu.
Nah, mudahkan jika kita ada kemauan?? Karena kemauan diri untuk berkembang, merupakan modal utama untuk berhasil. Jangan ragu untuk menulis. Aapun hasilnya, tuangkan saja. Jika ditertawakan, anggap remidial negatif yang dapat membangun kita dikemudian hari.
Next...>>>>
 
Home | Gallery | Tutorials | Artikel | About Me

Copyright © 2009 e-nati.blogspot.com |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net | Reviewed by Blogger Templates

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.